Rabu, 03 Juli 2013

Ekonomi Islam, antara ekonomi kapitalis dan ekonomi komunis

 Nama : Ulfatul Khoeriah (No.Urut 36)
 NPM  : 1052 0139
 Jurusan: Manajemen


Tatanan perekonomian Islam berbeda dengan kapitalisme atau pun sosialisme ilmiah (komunisme). Filsafat ekonomi Islam bersifat ilmiah tetapi tidak mekanikal. Sistem ini tertata rapi tanpa restriksi berlebihan. Sistem ini mengizinkan kepemilikan harta dan usaha pribadi namun tidak menggalakkan keserakahan dan penumpukan harta di tangan segelintir orang, dimana sebagian besar masyarakat menjadi miskin dan hamba dari eksploitasi kejam yang berkesinambungan.
Ada tiga perbedaan mendasar dalam filsafat perekonomian kapitalisme, komunisme dan Islam.

KAPITALISME
Dalam sistem kapitalisme, modal memperoleh imbalan dalam bentuk bunga uang. Secara intrinsik berlaku umum bahwa modal patut berkembang. Bunga uang menjadi perangsang pokok untuk menumpuk kekayaan, yang kemudian disalurkan sebagai penggerak untuk menjaga agar lini produksi berputar terus. Dengan kata lain, bunga uang menjadi insentif agar modal tetap berputar.
SOSIALISME ILMIAH
Dalam sistem sosialisme ilmiah (komunisme) tidak ada insentif dari bunga uang untuk menggerakkan siklus dan pemutaran modal ke dalam mekanisme produktif, dan negara memonopoli modal. Dengan demikian tidak diperlukan adanya motivasi.
Di perekonomian pasar bebas, terlepas dari apakah seseorang membayar bunga uang atau tidak, kesadaran akan kepemilikan harta pribadi sudah cukup menimbulkan dorongan agar modal yang dimilikinya tumbuh secepat mungkin. Jika ia harus membayar bunga atas uang yang dipinjam, suku bunga tersebut menjadi tolok ukur. Suku bunga ini berlaku sebagai jendela melalui mana seseorang memantau pertumbuhan atau penciutan komparatif modalnya. Dalam sistem perekonomian sosialis, tidak ada dorongan ini karena mereka yang menggerakkan modal tidak memilikinya, serta tidak ada sarana pembanding guna mengukur apakah tingkat pertumbuhannya secara ekonomis sudah memadai atau belum.
Dalam tatanan sosialisme ilmiah, penguasaan mutlak keseluruhan kekayaan oleh negara menjadikan sistem bunga uang menjadi tidak relevant dan berarti. Keburukannya adalah, jika kita tidak berada di bawah tekanan untuk mencari pendapatan lebih dari bunga uang yang harus dibayar maka kita akan kehilangan insentif mau pun rasa tanggungjawab.
Salah satu gambaran bisa diperoleh kalau kita bisa memperhitungkan berapa besar bunga uang yang akan diperoleh jika keseluruhan kekayaan suatu negara komunis misalnya didepositokan di suatu bank. Gambaran lain misalnya dengan cara menghitung perekonomian negara berdasarkan laba dan rugi usaha. Tentu saja akan banyak komplikasinya seperti bagaimana menentukan tingkat gaji dan lain-lain. Namun kalau ahli-ahli finansial mau turun tangan, komplikasi demikian dapat diatasi. Gambaran komparatif yang diperoleh akan memberikan beberapa posibilitas menarik.
Dengan cara demikian apa yang menjadi penyebab utama penurunan standar hidup dapat diketahui. Tanpa harus melakukan usaha raksasa demikian, rasanya juga tidak sulit mencari penyebab itu. Menurut hemat saya, karena negara itu sendiri menjadi si kapitalis, maka negara jadi tidak mempunyai sistem pemantauan yang bisa mengemukakan kegagalan, pemborosan dan kecerobohan cara penanganan modal negara karena ia tidak memiliki kewajiban keuangan yang harus dipenuhi dan adanya kebebasan menggunakan modal tanpa kemestian mempertanggungjawabkan. Situasi demikian penuh dengan bencana tersembunyi. Ketiadaan minat personal dan lemahnya sistem alarm mengenai laba atau rugi akibat pendayagunaan modal, akan mengacaukan rasio pendapatan dan pengeluaran. Jumlah yang mubazir akan meningkat terus.
Disamping itu tidak ada kendali yang diterapkan pada kebijakan penyaluran modal. Sebagai contoh, dalam pemerintahan sosialis tidak ada cermin untuk mengukur berapa tingkat pertumbuhan nyata ekonomi dibandingkan dengan perekonomian pasar bebas di bagian lain dunia. Masalahnya bertambah berat akibat negara komunis membutuhkan dana yang lebih besar untuk pertahanan, pengawasan dan lembaga-lembaga penerapan hukum di dalam negerinya. Hal ini ditambah faktor-faktor lain menjadi beban yang berat bagi perekonomian. Kehancuran total ekonomi mungkin bisa ditunda tetapi tidak akan dapat dielakkan selamanya.
KONSEP ISLAM
Kalau komunisme tidak memberikan rangsangan untuk semangat keterikutan dalam produksi kekayaan, walaupun menghilangkan sistem bunga uang, Islam bisa memberikan rangsangan tersebut. Islam juga menghilangkan ceti dan bunga uang tanpa harus terkena masalah-masalah khusus dari dunia komunis. Dengan ketiadaan bunga uang yang mungkin menyeret modal ke arah yang tidak produktif, Islam menerapkan kendali pada modal yang menganggur. Kendali ini berbentuk sejenis ‘pajak’ yang dikenal sebagai Zakat yang dikenakan bukan atas laba atau pendapatan tetapi atas modal itu sendiri.
Perbedaannya jelas. Dalam masyarakat kapitalis, modal tertumpuk di tangan segelintir orang hasil dari kerakusan ingin mengembangkan modal melalui akumulasi bunga uang yang didaur-ulang kembali ke dalam perekonomian dengan tujuan menghasilkan laba lebih tinggi dari suku bunga yang berlaku. Kalau gagal memenuhi tujuan tersebut maka perekonomian akan mengalami resesi. Menurut konsep Islam, karena khawatir modal menganggur akan terkikis oleh Zakat, maka setiap orang yang memiliki tabungan lebih akan memanfaatkan modalnya itu mencari laba guna mengimbangi dampak dari Zakat.
Menurut Islam, jawaban bagi masalah-masalah ekonomi dunia bukanlah kapitalisme atau pun komunisme. Agak sulit merinci subyek tersebut dalam forum ini, tetapi kita bisa memperoleh gambaran permukaan dari ketidakseimbangan ekonomi yang diciptakan oleh kapitalisme agar kita mendapat pelajaran untuk masa depan.

Selasa, 02 Juli 2013

Nama : Nur Aulia _ Nik : 12520055 _ No absent : 23 _ Pemasaran Syariah

·       Alasan Ideologis mengapa menggunakan pemasaran syariah

Pemasaran syariah atau sering disebut dengan syarī’ah marketing merupakan sebuah frasa yang berasal dari dua kata asing yakni “al-syarīah”  dan “marketing”. Kata ”al-syarīah”  berasal dari bahasa Arab dengan akar kata syaraa, yang secara etimologis (Lisānul Arab, VIII/175)  berarti sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Adapun secara terminologis (Mu’jam al- Wasith, I/479), diartikan dengan :
 “segala sesuatu yang ada pada syir’ah Allah untuk makhluk yang beribadah kepada-Nya yang mencangkup kaidah-kaidah dan hukum-hukum.”
Kata syirah yang dijelaskan dalam pengertian tersebut, diartikan sebagi aturan.
Kartajaya dan Sula (2006:58) mengatakan bahwa kata al-syarī’ah   sebenarnya telah ada dalam kosakata bahasa Arab sebelum turunnya kitab suci umat Islam. Kata tersebut disebutkan dalam bahasa Ibrani pada Perjanjian Lama sebanyak 200 kali, yang selalu mengisyaratkan pada makna “kehendak Tuhan yang diwahyukan sebagai wujud kekuasaan-Nya atas segala perbuatan manusia”.
Al-Qaradhawi (1990) dalam Madkhal lī Dirasah Syarīah Islamiyah sebagaimana dikutip Kartajaya dan Sula (2006:61) menjelaskan bahwa cakupan syariah dalam pandangan Islam sangatlah luas dan komprehensif (asy-syumul). Di dalamnya mengandung makna mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai aspek ibadah (hubungan manusia dengan Tuhannya), aspek keluarga (seperti nikah, talak, wakaf, wasiat, warisan), aspek bisnis (perdagangan, industri, perbankan, asuransi, utang-piutang, pemasaran, hibah), aspek ekonomi (permodalan, zakat, bait al-māl, fai, ghanimah), aspek hukum dan peradilan, aspek undang-undang hingga hubungan antar negara.
Tujuan dari penerapan syariah adalah untuk kemaslahatan manusia karena Allah Ta’alā menurunkan perintah maupun larangan agar terjaga keseimbangan dalam kehidupan dan manusia memperoleh kemaslahatan bagi dirinya. Al-Syatibi mengatakan bahwa :
 “ketentuan-ketentuan hukum yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan manusia” (Romli, 2007: 129)
Adapun Sya’ban  menyebutkan bahwa:
 ”Sebagian besar Jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah Yang Mahasuci Dia tidak mensyariatkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfaat (kemaslahatan) bagi umat manusia dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari kejahatan dan dosa.” (Romli, 2007:129)  
 Berbagai sumber tersebut memberikan pemahaman bahwa syarī’ah adalah aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’alā melalui para utusan-Nya sebagai pedoman hidup manusia, dengan tujuan untuk membawa kemaslahatan. Jika pemasaran (marketing) merupakan serangkaian proses untuk memberikan nilai yang dibawa oleh sebuah organisasi kepada para pihak yang memiliki kepentingan terhadapnya (stakeholder), maka pemasaran syariah (syarīah marketing) dapat didefinisikan sebagai serangkaian proses untuk memberikan nilai yang dibawa oleh sebuah organisasi kepada para pihak yang memiliki kepentingan terhadapnya serta dalam setiap prosesnya berkaitan erat dengan aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’alā.
 Nilai utama yang dibawa oleh sebuah organisasi Islam dalam setiap aktifitasnya adalah ketauhidan. Hal ini memiliki makna pengakuan bahwa Allah Ta’alā adalah Tuhan dari segala sesuatu, pencipta dan penguasa dari segala kehidupan, serta hanya Dia-lah yang berhak diibadahi juga disifati dengan sifat-sifat yang Maha Sempurna (suci dari segala kekurangan). Allah Ta’alā berfirman dalam Qs. An-Nahl [16]:36 :
 “Sesungguhnya Kami telah membangkitkan Para Utusan (Rasul) kepada setiap umat (untuk menyerukan)“Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)”.
Nilai ketauhidan juga termanifestasi dalam aktifitas pemasaran syariah. Hal inilah yang menyebabkan setiap aktifitas pemasaran syariah senantiasa berlandaskan atas sikap ketundukan dan ketaatan terhadap nilai-nilai moral yang telah diatur oleh syariah. Setiap muslim yang taat, memiliki keyakinan bahwa Allah Ta’alā adalah tujuan akhir dari setiap aktifitas, serta kecintaan kepada Allah Ta’alā adalah puncak dari seluruh aktifitas spiritual. Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa aktifitas ibadah kepada Ar-Rahman adalah puncak dari rasa cinta kepada-Nya, yang diiringi puncak perasaan rendah dari seorang hamba di hadapan-Nya (Abdurrahman, 2009:51).
Pemasaran syariah juga diartikan sebagai wakalah (pelimpahan wewenang), karena untuk mencapai optimalisai kinerja pemasaran produk, organisasi perlu membentuk struktur khusus yang menjalankan tugas pemasaran. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kewenangan atas organisasi akan melimpahkan wewenangnya kepada orang lain atau sekelompok orang untuk menjalankan tugas dalam hal strategi dan teknis pemasaran pada organisasi tersebut.

Sabtu, 22 Juni 2013

Nama : Nur aulia _ Nik : 1252 0055 _ No Absent : 27 _ Pengantar Ekonomi Syariah

*    Bagaimana sejarah membuktikan Ekonomi Islam yang lebih adil

      Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup secara kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui sebagai factor esensial agar dapat bertahan dalam kehidupan. Seluruh manusia bergantung satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan sosial diantara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi bertahap dalam pembentukan sistem pertukaran barang dan pelayanan. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman, sistem pertukaran ini berevolusi dari aktivitas yang sederhana kepada aktivitas ekonomi yang modern.
      Ilmu ekonomi konvensional yang mendominasi pemikiran ekonomi modern, telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat maju dan canggih, melalui suatu proses pengembangan panjang selama lebih dari satu abad. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu ekonomi konvensional memberikan kontribusi yang amat besar bagi kemajuan kehidupan manusia secara materiil, terutama sesudah Perang Dunia II. Pada masa ini, revolusi ekonomi mampu memberikan kesejahteraan kepada manusia, bersamaan dengan meningkatnya produksi, membaiknya sarana komunikasi dan bertambahnya kemampuan eksploitasi sumber daya alam. Standar hidup di antara kelas pekerja menjadi lebih tinggi daripada bila mereka hanya bergantung pada pertanian.
      Namun pada perkembangannya, ekonomi konvensional terbukti gagal mempertahankan idealismenya. Kondisi-kondisi ideal yang dijadikan asumsi dalam teori ekonomi konvensional tidak pernah tercapai. Bahkan dalam setengah abad terakhir, ekonomi konvensional semakin menampakkan kelemahannya. Timbulnya kapitalisme memperbesar kesenjangan antar orang kaya dan orang miskin, antara pekerja dan pemilik modal, antara negara maju dan Negara berkembang serta menyebabkan tingginya inflasi dan bertambahnya jumlah pengangguran.
      Hasil penelitian The New Economics Foundation (NEF), sebuah lembaga riset yang berkedudukan di Inggris, tentang hubungan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dengan proporsi atau share dari pertumbuhan tersebut yang dinikmati oleh kaum miskin, menemukan dan membuktikan bahwa pada dekade 1980-an, dari setiap kenaikan 100 $ AS pendapatan per kapita dunia, maka kaum miskin hanya menikmati 2,2 $ AS, atau sekitar 2,2 persen. Artinya 97,8 persen lainnya dinikmati oleh orang-orang kaya. Kemudian pada kurun waktu tahun 1990 hingga 2001, setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 100$ AS, maka persentase yang dinikmati oleh orang-orang miskin hanya 60 sen saja, atau sekitar 0,6 persen. Sedangkan sisanya, yaitu 99,4 persen, dinikmati oleh kelompok kaya dunia.
      Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan share kelompok miskin sebesar 73 persen dan hingga saat sekarang ini kesenjangan tersebut semakin menjadi-jadi. Fakta tersebut menunjukkan bahwa perekonomian dunia saat ini cenderung bergerak kepada ketidakseimbangan penguasaan aset dan sumber daya ekonomi, yang menjadikan kelompok kaya menjadi semakin kaya dan kelompok miskin semakin miskin. Ironisnya fakta tersebut paralel dengan kenyataan di banyak negara Muslim, di mana strategi trickle down effect yang dahulu begitu diagung-agungkan, ternyata hanya menghasilkan kesenjangan social yang luar biasa besar (Mannan, 1986: 47).
      Dalam kondisi seperti ini, maka selama tiga atau empat dekade terakhir mulai dikembangkan sistem perekonomian Islam sebagai solusi kondisi perekonomian internasional. Alquran sebagai kitab suci umat Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga memberikan petunjuk yang sempurna (komprehensif) dan abadi (universal) bagi seluruh umat manusia. Alquran mengandung prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk yang fundamental untuk setiap permasalahan manusia, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi yang ada dalam berbagai ayat di Alquran dilengkapi dengan sunah-sunah dari Rasulullah s.a.w. melalui berbagai bentuk Hadis dan diterangkan lebih rinci oleh para fuqaha pada saat kejayaan dīnu al-Islām baik dalam bentuk Ijma atau Qiyas maupun Ijtihad (Chapra, 2000: 2-4).
      Pada masa Rasulullah Saw, Islam memberikan ruang yang sangat luas bagi berkembangnya perekonomian. Salah satu prinsip dasar dalam muamalah adalah bahwa segala sesuatu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya, menjadi pendorong utama inovasi ekonomi yang mempercepat pertumbuhan ekonomi Islam. Pada masa Khulafaur al-Rashidin, ilmu ekonomi semakin berkembang. Pada masa ini masyarakat mencapai taraf kesejahteraan yang tinggi, yang semakin bertambah pada masa Umar bin Abdul Aziz. Ekonomi Islam mencapai puncak kejayaannya seiring dengan kejayaan Islam secara keseluruhan pada masa khalifah Harun al-Rashid. Masa kekhalifahan Harun al-Rashid berlangsung hampir seperempat abad (170-193H/786-809 M), ketika Baghdad tumbuh dari sebuah kekosongan menjadi pusat dunia kekayaan dan pendidikan. Pada masa ini, aktivitas-aktivitas komersial berkembang sampai ke Cina. Ketersediaan bantuan keuangan yang melimpah bagi para mahasiswa dan sarjana menjadikan dunia muslim sebagai suatu tempat pertemuan bagi para sarjana dari segala bidang pengajaran dan berbagai aliran dan agama. Keadilan dalam sistem perpajakan pertanian menghasilkan tingginya produksi pertanian dan meningkatnya kesejahteraan petani (Al-Asfahani, IX: 3375).
      Namun berbagai permasalahan internal dan eksternal umat Islam, termasuk kerusakan moral dan peristiwa perang salib, telah melemahkan ekonomi Islam dan menghentikan perkembangan ekonomi Islam selama satu setengah abad. Berdasarkan sejarah yang menunjukkan efektifitas sistem perekonomian Islam bila dilaksanakan sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sistem ekonomi Islam kembali dilirik sebagai solusi berbagai permasalahan sosial ekonomi internasional. Jika instrumen ekonomi Islam diimplementasikan dengan baik dan benar, maka masalah-masalah krusial perekonomian dapat diantisipasi sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial sebagaimana yang saat ini tengah terjadi. Dengan demikian, ekonomi Islam dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selasa, 18 Juni 2013

ELGA NAIBAHO, NIM : 10527080, NO.URUT : 13



ALASAN IDEOLOGIS MENGENAI PENGAHARAMAN RIBA

Menurut pandangan Islam memakan riba dosanya adalah selevel dengan berzina dengan ibu kandung,”Riba ada tujuh puluh tiga tingkatan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya”HR Al Hakim.

1.      Dalil-Dalil Tentang Riba

Diharamkannya  riba berdasarkan  Kitabullah  dan  Sunnah  Rasul serta ijma’ para ulama.  Bahkan bisa dikatakan keharamannya.
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al qur’an, Assunah dan Ijma’ ulama’
1. Dalam surat Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena kala riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Hanya saja ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya riba yang terlanjur membudaya kala itu.
2. Dalam surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا – وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ayat di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gamblang, untuk kemudian baru diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Al-Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.

3. Dalam surat Ali Imran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imraan: 130)
Ayat di atas mejelaskan bahwa riba diharamkan karena dikaitkan dengan suatu tambahan yang berlipat ganda. para ahli tafsir berpendapat behwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak di praktekan pada masa tersebut tapi bukan menjadi persyaratan diharamkanya riba
4. Baru kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang - orang  yang  beriman. Maka jika kamu  tidak  mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka  ketahuilah,bahwa Allah  dan Rasul-Nya akan memerangimu.   dan jika  kamu  bertaubat  (dari pengambilan riba), Maka  bagimu  pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 275-279)
Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam Al-Qur’an Al-Karim. (DR.Setiawan Budi Utomo, fiqih aktual.hal: 78-79. GEMA INSANI PRESS)

2. Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari As-Sunnah
1. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. “
Hadist dia atas menerangkan memakan riba secara umum (Ahmad Azhar Basyir M.A.hukum islam tentang riba utang piutang gadai,hal: 16. PT ALMA’ARIF,BANDUNG)


2. Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”(HR.Bukhari fathul bari/V:4/H:394/bab:24)
Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai (dalam kedaan) berdarah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya: “Apa ini?” Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab: “Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba.” Bukhari/fathul bari/V:4/H:393/2085.
Ijma’ yang Mengharamkan Riba
Kaum muslimin seluruhnya telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama sekali riba pinjaman atau hutang. Bahkan mereka telah bersepakat dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama Ahli Fikih seluruh madzhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk masalahnya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.
Ijma’ akan pengharamannya dinukilkan dari An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 9/391, dan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al fatawa 29/419.
Pengharaman Riba tidak terbatas hanya pada syari’at islam bahkan juga ada dalam syari’at agama sebelumnya.