Rabu, 03 Juli 2013

Ekonomi Islam, antara ekonomi kapitalis dan ekonomi komunis

 Nama : Ulfatul Khoeriah (No.Urut 36)
 NPM  : 1052 0139
 Jurusan: Manajemen


Tatanan perekonomian Islam berbeda dengan kapitalisme atau pun sosialisme ilmiah (komunisme). Filsafat ekonomi Islam bersifat ilmiah tetapi tidak mekanikal. Sistem ini tertata rapi tanpa restriksi berlebihan. Sistem ini mengizinkan kepemilikan harta dan usaha pribadi namun tidak menggalakkan keserakahan dan penumpukan harta di tangan segelintir orang, dimana sebagian besar masyarakat menjadi miskin dan hamba dari eksploitasi kejam yang berkesinambungan.
Ada tiga perbedaan mendasar dalam filsafat perekonomian kapitalisme, komunisme dan Islam.

KAPITALISME
Dalam sistem kapitalisme, modal memperoleh imbalan dalam bentuk bunga uang. Secara intrinsik berlaku umum bahwa modal patut berkembang. Bunga uang menjadi perangsang pokok untuk menumpuk kekayaan, yang kemudian disalurkan sebagai penggerak untuk menjaga agar lini produksi berputar terus. Dengan kata lain, bunga uang menjadi insentif agar modal tetap berputar.
SOSIALISME ILMIAH
Dalam sistem sosialisme ilmiah (komunisme) tidak ada insentif dari bunga uang untuk menggerakkan siklus dan pemutaran modal ke dalam mekanisme produktif, dan negara memonopoli modal. Dengan demikian tidak diperlukan adanya motivasi.
Di perekonomian pasar bebas, terlepas dari apakah seseorang membayar bunga uang atau tidak, kesadaran akan kepemilikan harta pribadi sudah cukup menimbulkan dorongan agar modal yang dimilikinya tumbuh secepat mungkin. Jika ia harus membayar bunga atas uang yang dipinjam, suku bunga tersebut menjadi tolok ukur. Suku bunga ini berlaku sebagai jendela melalui mana seseorang memantau pertumbuhan atau penciutan komparatif modalnya. Dalam sistem perekonomian sosialis, tidak ada dorongan ini karena mereka yang menggerakkan modal tidak memilikinya, serta tidak ada sarana pembanding guna mengukur apakah tingkat pertumbuhannya secara ekonomis sudah memadai atau belum.
Dalam tatanan sosialisme ilmiah, penguasaan mutlak keseluruhan kekayaan oleh negara menjadikan sistem bunga uang menjadi tidak relevant dan berarti. Keburukannya adalah, jika kita tidak berada di bawah tekanan untuk mencari pendapatan lebih dari bunga uang yang harus dibayar maka kita akan kehilangan insentif mau pun rasa tanggungjawab.
Salah satu gambaran bisa diperoleh kalau kita bisa memperhitungkan berapa besar bunga uang yang akan diperoleh jika keseluruhan kekayaan suatu negara komunis misalnya didepositokan di suatu bank. Gambaran lain misalnya dengan cara menghitung perekonomian negara berdasarkan laba dan rugi usaha. Tentu saja akan banyak komplikasinya seperti bagaimana menentukan tingkat gaji dan lain-lain. Namun kalau ahli-ahli finansial mau turun tangan, komplikasi demikian dapat diatasi. Gambaran komparatif yang diperoleh akan memberikan beberapa posibilitas menarik.
Dengan cara demikian apa yang menjadi penyebab utama penurunan standar hidup dapat diketahui. Tanpa harus melakukan usaha raksasa demikian, rasanya juga tidak sulit mencari penyebab itu. Menurut hemat saya, karena negara itu sendiri menjadi si kapitalis, maka negara jadi tidak mempunyai sistem pemantauan yang bisa mengemukakan kegagalan, pemborosan dan kecerobohan cara penanganan modal negara karena ia tidak memiliki kewajiban keuangan yang harus dipenuhi dan adanya kebebasan menggunakan modal tanpa kemestian mempertanggungjawabkan. Situasi demikian penuh dengan bencana tersembunyi. Ketiadaan minat personal dan lemahnya sistem alarm mengenai laba atau rugi akibat pendayagunaan modal, akan mengacaukan rasio pendapatan dan pengeluaran. Jumlah yang mubazir akan meningkat terus.
Disamping itu tidak ada kendali yang diterapkan pada kebijakan penyaluran modal. Sebagai contoh, dalam pemerintahan sosialis tidak ada cermin untuk mengukur berapa tingkat pertumbuhan nyata ekonomi dibandingkan dengan perekonomian pasar bebas di bagian lain dunia. Masalahnya bertambah berat akibat negara komunis membutuhkan dana yang lebih besar untuk pertahanan, pengawasan dan lembaga-lembaga penerapan hukum di dalam negerinya. Hal ini ditambah faktor-faktor lain menjadi beban yang berat bagi perekonomian. Kehancuran total ekonomi mungkin bisa ditunda tetapi tidak akan dapat dielakkan selamanya.
KONSEP ISLAM
Kalau komunisme tidak memberikan rangsangan untuk semangat keterikutan dalam produksi kekayaan, walaupun menghilangkan sistem bunga uang, Islam bisa memberikan rangsangan tersebut. Islam juga menghilangkan ceti dan bunga uang tanpa harus terkena masalah-masalah khusus dari dunia komunis. Dengan ketiadaan bunga uang yang mungkin menyeret modal ke arah yang tidak produktif, Islam menerapkan kendali pada modal yang menganggur. Kendali ini berbentuk sejenis ‘pajak’ yang dikenal sebagai Zakat yang dikenakan bukan atas laba atau pendapatan tetapi atas modal itu sendiri.
Perbedaannya jelas. Dalam masyarakat kapitalis, modal tertumpuk di tangan segelintir orang hasil dari kerakusan ingin mengembangkan modal melalui akumulasi bunga uang yang didaur-ulang kembali ke dalam perekonomian dengan tujuan menghasilkan laba lebih tinggi dari suku bunga yang berlaku. Kalau gagal memenuhi tujuan tersebut maka perekonomian akan mengalami resesi. Menurut konsep Islam, karena khawatir modal menganggur akan terkikis oleh Zakat, maka setiap orang yang memiliki tabungan lebih akan memanfaatkan modalnya itu mencari laba guna mengimbangi dampak dari Zakat.
Menurut Islam, jawaban bagi masalah-masalah ekonomi dunia bukanlah kapitalisme atau pun komunisme. Agak sulit merinci subyek tersebut dalam forum ini, tetapi kita bisa memperoleh gambaran permukaan dari ketidakseimbangan ekonomi yang diciptakan oleh kapitalisme agar kita mendapat pelajaran untuk masa depan.

Selasa, 02 Juli 2013

Nama : Nur Aulia _ Nik : 12520055 _ No absent : 23 _ Pemasaran Syariah

·       Alasan Ideologis mengapa menggunakan pemasaran syariah

Pemasaran syariah atau sering disebut dengan syarī’ah marketing merupakan sebuah frasa yang berasal dari dua kata asing yakni “al-syarīah”  dan “marketing”. Kata ”al-syarīah”  berasal dari bahasa Arab dengan akar kata syaraa, yang secara etimologis (Lisānul Arab, VIII/175)  berarti sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Adapun secara terminologis (Mu’jam al- Wasith, I/479), diartikan dengan :
 “segala sesuatu yang ada pada syir’ah Allah untuk makhluk yang beribadah kepada-Nya yang mencangkup kaidah-kaidah dan hukum-hukum.”
Kata syirah yang dijelaskan dalam pengertian tersebut, diartikan sebagi aturan.
Kartajaya dan Sula (2006:58) mengatakan bahwa kata al-syarī’ah   sebenarnya telah ada dalam kosakata bahasa Arab sebelum turunnya kitab suci umat Islam. Kata tersebut disebutkan dalam bahasa Ibrani pada Perjanjian Lama sebanyak 200 kali, yang selalu mengisyaratkan pada makna “kehendak Tuhan yang diwahyukan sebagai wujud kekuasaan-Nya atas segala perbuatan manusia”.
Al-Qaradhawi (1990) dalam Madkhal lī Dirasah Syarīah Islamiyah sebagaimana dikutip Kartajaya dan Sula (2006:61) menjelaskan bahwa cakupan syariah dalam pandangan Islam sangatlah luas dan komprehensif (asy-syumul). Di dalamnya mengandung makna mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai aspek ibadah (hubungan manusia dengan Tuhannya), aspek keluarga (seperti nikah, talak, wakaf, wasiat, warisan), aspek bisnis (perdagangan, industri, perbankan, asuransi, utang-piutang, pemasaran, hibah), aspek ekonomi (permodalan, zakat, bait al-māl, fai, ghanimah), aspek hukum dan peradilan, aspek undang-undang hingga hubungan antar negara.
Tujuan dari penerapan syariah adalah untuk kemaslahatan manusia karena Allah Ta’alā menurunkan perintah maupun larangan agar terjaga keseimbangan dalam kehidupan dan manusia memperoleh kemaslahatan bagi dirinya. Al-Syatibi mengatakan bahwa :
 “ketentuan-ketentuan hukum yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan manusia” (Romli, 2007: 129)
Adapun Sya’ban  menyebutkan bahwa:
 ”Sebagian besar Jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah Yang Mahasuci Dia tidak mensyariatkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfaat (kemaslahatan) bagi umat manusia dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari kejahatan dan dosa.” (Romli, 2007:129)  
 Berbagai sumber tersebut memberikan pemahaman bahwa syarī’ah adalah aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’alā melalui para utusan-Nya sebagai pedoman hidup manusia, dengan tujuan untuk membawa kemaslahatan. Jika pemasaran (marketing) merupakan serangkaian proses untuk memberikan nilai yang dibawa oleh sebuah organisasi kepada para pihak yang memiliki kepentingan terhadapnya (stakeholder), maka pemasaran syariah (syarīah marketing) dapat didefinisikan sebagai serangkaian proses untuk memberikan nilai yang dibawa oleh sebuah organisasi kepada para pihak yang memiliki kepentingan terhadapnya serta dalam setiap prosesnya berkaitan erat dengan aturan atau hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’alā.
 Nilai utama yang dibawa oleh sebuah organisasi Islam dalam setiap aktifitasnya adalah ketauhidan. Hal ini memiliki makna pengakuan bahwa Allah Ta’alā adalah Tuhan dari segala sesuatu, pencipta dan penguasa dari segala kehidupan, serta hanya Dia-lah yang berhak diibadahi juga disifati dengan sifat-sifat yang Maha Sempurna (suci dari segala kekurangan). Allah Ta’alā berfirman dalam Qs. An-Nahl [16]:36 :
 “Sesungguhnya Kami telah membangkitkan Para Utusan (Rasul) kepada setiap umat (untuk menyerukan)“Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)”.
Nilai ketauhidan juga termanifestasi dalam aktifitas pemasaran syariah. Hal inilah yang menyebabkan setiap aktifitas pemasaran syariah senantiasa berlandaskan atas sikap ketundukan dan ketaatan terhadap nilai-nilai moral yang telah diatur oleh syariah. Setiap muslim yang taat, memiliki keyakinan bahwa Allah Ta’alā adalah tujuan akhir dari setiap aktifitas, serta kecintaan kepada Allah Ta’alā adalah puncak dari seluruh aktifitas spiritual. Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa aktifitas ibadah kepada Ar-Rahman adalah puncak dari rasa cinta kepada-Nya, yang diiringi puncak perasaan rendah dari seorang hamba di hadapan-Nya (Abdurrahman, 2009:51).
Pemasaran syariah juga diartikan sebagai wakalah (pelimpahan wewenang), karena untuk mencapai optimalisai kinerja pemasaran produk, organisasi perlu membentuk struktur khusus yang menjalankan tugas pemasaran. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kewenangan atas organisasi akan melimpahkan wewenangnya kepada orang lain atau sekelompok orang untuk menjalankan tugas dalam hal strategi dan teknis pemasaran pada organisasi tersebut.